Pandangan: Mengenal Teori John Effect

Erfapulsa
By -
0
Pandangan: Mengenal Teori John Effect

Perubahan Nilai dalam Era Digital: Teori Efek Yohanes

Di tengah perputaran informasi digital yang begitu cepat, tindakan yang dulunya dianggap sebagai kesombongan atau membanggakan diri kini berubah menjadi alat penting dalam dunia sosial dan ekonomi. Pandangan ini bertolak belakang dengan nasihat yang pernah saya terima sebelumnya. Saya ingat betul pada tahun 2019, setelah memutuskan untuk mengundurkan diri dari seminari St. Paulus Ledalero, seorang teman menyarankan agar saya berhati-hati saat memasuki "dunia luar."

"Jangan terlalu suka memamerkan keberhasilan, nanti kamu dicap sombong dan iri hati orang lain," katanya dengan tulus. Pada konteks waktu itu, saran tersebut sangat relevan. Budaya kita menjunjung tinggi kerendahan hati dan melihat pujian diri sebagai keangkuhan.

Namun, di era koneksi global dan ekonomi kreatif saat ini, saran yang sama justru terasa tidak tepat lagi. Membatasi diri dalam berbagi keberhasilan sama saja dengan mematikan peluang. Inilah yang melahirkan sebuah perspektif baru ilmu komunikasi, yang saya sebut sebagai Teori Efek Yohanes.

Teori Efek Yohanes: Keberhasilan yang Dibagikan

Teori Efek Yohanes mengambil inspirasi dari kutipan Alkitab yang mendalam, Yohanes 16:24: "Mintalah maka kamu akan menerima, supaya penuhlah sukacitamu” (Tunjukan supaya orang melihat, maka penuhlah sukacitamu). Secara tradisional, ayat ini ditafsirkan dalam konteks spiritual, menekankan pentingnya doa dan ketergantungan pada Tuhan untuk mencapai kepenuhan sukacita.

Namun, Teori Efek Yohanes menafsirkannya ulang dalam konteks sosial dan ekonomi digital: Keberhasilan (yang didapatkan melalui upaya/permintaan) harus diwujudkan dan dibagikan (diterima orang lain) agar sukacita (peluang baru dan pengakuan) menjadi penuh. Memamerkan keberhasilan di media sosial bukanlah narsisme kosong, melainkan sebuah ritual "meminta" pengakuan, validasi, dan yang paling penting, katalis untuk peluang profesional yang lebih besar.

Fenomena ini, jika dianalisis secara mendalam, mengungkapkan bagaimana tindakan berbagi yang terlihat "dangkal" ternyata menjadi mesin penggerak dalam ekonomi kreator modern.

Dari Keangkuhan Moral Menuju Investasi Identitas

Pergeseran nilai dari menahan diri menjadi manifestasi diri adalah inti dari Teori Efek Yohanes. Dahulu, keberhasilan yang dipamerkan dianggap sebagai "narsisme", sebuah patologi sosial. Kini, ia berevolusi menjadi "investasi identitas" atau self-branding yang produktif.

Secara sempit, pemostingan rutin keberhasilan, mulai dari ijazah baru, penghargaan, hingga makanan yang mewah, sering disalahartikan sebagai kesombongan. Namun, dalam ekosistem digital, tindakan ini memiliki fungsi pragmatis. Filsuf kontemporer, Zygmunt Bauman, dalam analisisnya tentang liquid modernity (modernitas cair), menjelaskan bahwa identitas di era digital bersifat performatif dan cair. Individu dipaksa untuk terus-menerus "menciptakan diri" dan mempresentasikannya di hadapan publik agar tetap relevan.

Bagi Bauman, masyarakat saat ini hidup dalam ketidakpastian, di mana jati diri harus terus dipertunjukkan dan diakui orang lain untuk mendapatkan bentuk. Tindakan "pamer" ini adalah upaya untuk mengatasi kerapuhan identitas di dunia yang serba cepat.

Contoh Penerapan Teori Efek Yohanes

Teori Efek Yohanes menemukan relevansinya pada tiga kelompok profesional. Pertama, food influencer. Mereka tidak sekadar makan; mereka memvisualisasikan pengalaman dan kenikmatan makanan. Memposting makanan dengan engagement tinggi menciptakan daya tarik dan endorsement. Mereka "meminta" perhatian melalui visual, dan "menerima" kontrak bisnis dari jenama (merek) makanan, sehingga "penuh" sukacita ekonominya.

Kedua, dosen dan peneliti. Dosen memposting keberhasilan penelitian, kerja sama internasional, atau presentasi di konferensi. Tindakan ini bertujuan membangun reputasi ilmiah. Dalam konteks akademik, reputasi adalah modalitas yang mengarahkan pada hibah penelitian yang lebih besar, kolaborasi bergengsi, dan promosi jabatan. Mereka "meminta" pengakuan ilmiah (melalui publikasi di media sosial), dan "menerima" legitimasi profesional.

Ketiga, wirausahawan dan konsultan. Mereka secara konsisten memamerkan keberhasilan klien, hasil penjualan, atau pencapaian pendapatan. Ini adalah bukti sosial (social proof). Seseorang yang terlihat sukses menarik lebih banyak klien yang percaya bahwa kesuksesan itu menular.

Praktik Efek Yohanes yang Bertanggung Jawab

Inti dari Teori Efek Yohanes adalah bahwa meminta (melalui self-branding) dan menerima (berupa peluang) akan menghasilkan kepenuhan. Namun, kepenuhan ini tidak boleh dicapai dengan mengorbankan integritas. Tantangan terbesar di era digital adalah bagaimana memamerkan keberhasilan secara autentik, bukan manipulatif.

Perlu adanya batasan antara branding dan gimmick. Kritikus sering khawatir bahwa pameran di media sosial hanya menciptakan ilusi, sebuah Truman Show digital. Untuk memastikan Efek Yohanes berhasil, konten yang dibagikan harus memiliki nilai edukasi, inspirasi, atau validitas. Pameran yang beretika adalah yang transparan mengenai proses dan perjuangan, bukan hanya hasil akhir.

Seorang influencer tidak hanya memamerkan makanannya, tetapi juga menjelaskan kualitas, lokasi, atau resep. Seorang dosen tidak hanya memamerkan judul penelitian, tetapi juga dampaknya bagi masyarakat. Penting untuk memahami peran "Khudi" Muhammad Iqbal. Pandangan filsuf Muhammad Iqbal tentang konsep "khudi" (diri/ego) memberikan landasan etis.

Iqbal menekankan pentingnya individu untuk menyadari eksistensi dan nilai spiritual mereka, serta terus berkembang dan mencapai kesempurnaan diri melalui tindakan kreatif dan bertanggung jawab. Menerapkan "khudi" pada Teori Efek Yohanes berarti bahwa pameran keberhasilan harus didasarkan pada pengembangan diri yang sejati dan memiliki tujuan yang lebih besar, bukan sekadar pujian hampa.

Pameran diri harus menjadi alat untuk memotivasi diri sendiri dan orang lain, bukan topeng. Untuk mengoptimalkan Teori Efek Yohanes tanpa jatuh ke dalam perangkap narsisme patologis, masyarakat saat ini perlu menginternalisasi tiga langkah strategis.

Langkah Strategis untuk Menggunakan Teori Efek Yohanes

Pertama, audit keberhasilan (success auditing). Jangan hanya menyimpan keberhasilan dalam hati atau di laci. Catat dan klasifikasikan semua pencapaian profesional, akademik, dan pribadi. Anggap setiap keberhasilan sebagai aset yang siap diinvestasikan.

Kedua, kontekstualisasi dan narasi (contextualization and narrative). Ubah pameran dari "Saya sukses" menjadi "Inilah cara saya sukses, dan ini yang bisa Anda pelajari." Selalu sertakan konteks perjuangan atau proses di balik hasil. Keberhasilan yang dinarasikan mengundang engagement (keterlibatan) yang lebih dalam, bukan sekadar like yang dangkal. Ini mengubah pencapaian menjadi konten yang bernilai.

Ketiga, tujuan yang jelas (clear intention). Setiap kali memposting pencapaian, tetapkan tujuan yang jelas. Apakah mencari kolaborasi baru? Pengakuan dari rekan sejawat? Atau klien potensial? Tanpa tujuan, pameran hanyalah kesombongan; dengan tujuan, ia adalah strategi.

Singkatnya, nasihat untuk tidak pamer telah usang. Di dunia yang default-nya adalah digital, keheningan setara dengan ketiadaan. Teori Efek Yohanes mengajarkan bahwa kita harus secara aktif "meminta" peluang dan pengakuan melalui visualisasi keberhasilan yang beretika, sehingga "sukacita" profesional dan finansial kita menjadi penuh. Ini adalah jalan menuju narsisme produktif, di mana manifestasi diri tidak lagi menjadi dosa, melainkan sebuah kewajiban profesional.

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default