
Sidang Pleidoi Kasus Narkotika dengan Terdakwa Catur Adi Prianto
Sidang kasus narkotika terhadap Catur Adi Prianto, mantan Direktur Persiba, memasuki tahap pleidoi di Pengadilan Negeri Balikpapan pada Rabu (26/11/2025). Sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Ari Siswanto ini berlangsung di Ruang Kartika PN Balikpapan. Dalam sidang tersebut, terdakwa dan penasihat hukumnya menolak tuntutan hukuman mati dari Jaksa Penuntut Umum.
Catur Adi menganggap tuntutan mati dari jaksa tidak sesuai dengan fakta persidangan. Ia membantah seluruh tuduhan keterlibatan dalam peredaran narkotika di Lapas Balikpapan. Menurutnya, kunjungannya ke Lapas dilakukan dengan izin dan pengawasan petugas, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai permufakatan jahat. Ia menegaskan bahwa jika pertemuan itu benar dianggap kriminal, hanya ada dua kemungkinan: petugas lapas terlibat dalam tindak kejahatan atau pertemuan tersebut bukanlah tindak kejahatan.
Catur menilai bahwa dalil permufakatan jahat yang disampaikan jaksa gugur secara logis karena petugas Lapas tidak pernah diproses secara hukum. Ia menekankan bahwa kunjungan tersebut sah dan tidak melanggar hukum. Selain itu, ia juga menyoroti dasar pembuktian yang digunakan oleh jaksa, yang hanya bertumpu pada keterangan tunggal saksi Eko Setiawan tanpa dukungan rekaman, surat, atau saksi lain. Menurut prinsip hukum, satu saksi tanpa dukungan tidak cukup untuk membuktikan apa pun.
Selain itu, Arnop yang disebut sebagai tokoh kunci jaringan justru berstatus DPO dan tidak pernah dihadirkan di persidangan. Ia menambahkan bahwa setelah bebas pada 13 Februari 2025, Arnop kembali ke Lapas untuk memperingatkan Aco dan Awi terkait pemeriksaan dari Mabes Polri. Dalam peringatan tersebut, nama Catur tidak pernah disebut sama sekali.
Catur juga membantah dalil "pergantian pohon" yang disampaikan oleh jaksa. Menurutnya, fakta adanya razia rutin di Lapas dengan hasil nihil setelah kedatangannya menunjukkan bahwa aktivitas peredaran narkotika tidak meningkat. Ia menjelaskan bahwa sabu yang ditemukan sebulan kemudian sangat mungkin stok lama, diperkuat keterangan Aco bahwa barang terakhir ia masukkan pada Desember 2024.
Terdakwa juga membantah tuduhan terkait percakapan video call yang dijadikan sebagai salah satu bukti oleh jaksa. Menurut Catur, jaksa telah memelintir peristiwa video call yang sebenarnya terjadi. Dalam percakapan tersebut, dirinya menunjuk Aco sebagai "bos", namun Aco justru menolak dan mematikan telepon. Tidak ada kesepakatan yang terjalin, sehingga tidak memenuhi definisi permufakatan menurut KBBI.
Rekaman CCTV hanya menunjukkan bahwa ia berada di lokasi tersebut, namun tidak dapat membuktikan adanya pembicaraan tentang narkotika. Petugas jaga yang menjadi saksi netral juga tidak mendengar pembicaraan mengenai narkoba dalam pertemuan tersebut.
Catur mencatat kejanggalan dalam penanganan perkara ini, khususnya terkait status Aco dalam proses hukum. Menurutnya, Aco yang memegang rekening, memesan barang, dan menjadi perantara aktif justru hanya dijadikan saksi, bukan tersangka. Ia menilai penetapan Aco sebagai saksi merupakan bentuk ketidakadilan dalam penegakan hukum.
Penasihat hukum Agus Amri menyatakan bahwa berdasarkan Pasal 184 KUHAP dan seluruh fakta persidangan, penerapan Pasal 114 ayat (2) jo. Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika terhadap terdakwa tidak tepat. Ia menilai analisis jaksa sangat dangkal dan tidak logis, sehingga tidak dapat dijadikan dasar pemidanaan.
Menurut Agus, hukum pidana menuntut keadilan substantif. Terdakwa adalah seorang ayah yang mengasuh tiga anak kecil, namun dituntut mati atas perbuatan yang tidak ia lakukan. Ia menegaskan bahwa kriminalisasi semacam ini tentu tidak dikehendaki oleh Majelis Hakim. Pemidanaan yang tidak proporsional hanya menunjukkan hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Asas geen straf zonder schuld menegaskan bahwa tanpa kesalahan nyata, baik sengaja maupun alpa, tidak boleh ada pidana. Agus menjelaskan bahwa Pasal 183–184 KUHAP mensyaratkan minimal dua alat bukti sah dan keyakinan hakim. Keterangan di persidangan yang disampaikan di bawah sumpah harus diutamakan dibandingkan dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Agus menyampaikan bahwa testimonium de auditu atau kesaksian berdasarkan pendengaran bukan merupakan alat bukti langsung. Keterangan saksi mahkota pun harus dinilai dengan sangat hati-hati oleh majelis hakim. Jika ada keraguan, asas in dubio pro reo harus berpihak pada terdakwa, sejalan dengan putusan Mahkamah Agung, termasuk Putusan No. 42 PK/Pid.Sus/2017.
Tim penasihat hukum memohon Majelis Hakim membebaskan Catur Adi Priyanto dari seluruh dakwaan, memulihkan haknya, dan memerintahkan pembebasan segera. Jika Majelis berpendapat lain, tim kuasa hukum memohon putusan yang seadil-adilnya, ex aequo et bono.
Setelah pembacaan pleidoi selesai, sidang dilanjutkan dengan agenda replik dari Jaksa Penuntut Umum, Eka Rahayu. Hakim Ketua Ari Siswanto mempersilakan penuntut umum untuk menyampaikan repliknya. Jaksa Penuntut Umum Eka menyatakan bahwa pihaknya telah menyiapkan replik secara tertulis. Pada intinya, JPU meminta Majelis Hakim menolak seluruh pleidoi penasihat hukum dan tetap menyatakan terdakwa bersalah sesuai tuntutan, yakni hukuman mati.
Menanggapi replik dari Jaksa Penuntut Umum, Hakim Ketua Ari Siswanto kemudian mempersilakan penasihat hukum untuk menyampaikan dupliknya. Penasihat hukum Agus Amri menyatakan bahwa sejauh ini yang dibaca dari replik JPU, tidak ada hal spesifik yang disampaikan. Sehingga, mereka tetap pada pleidoi mereka semula.
Usai mendengar pleidoi, replik, dan duplik, Hakim Ketua Ari Siswanto menyatakan majelis hakim membutuhkan waktu untuk bermusyawarah mempertimbangkan seluruh fakta, bukti, dan argumentasi yang disampaikan. "Beri Majelis Hakim kesempatan untuk bermusyawarah. Untuk putusan ditunda sampai Jumat, tanggal 28 November 2025," ujar Hakim Ketua Ari Siswanto sambil mengetuk palu menunda sidang.
