Emas, Perak, dan Riba: Mengapa Dinar dan Dirham Tak Bisa Masuk Sistem Ekonomi

Erfapulsa
By -
0

Fenomena Kenaikan Harga Emas dan Perak

Belakangan ini, kita menyaksikan fenomena yang membuat mata dunia terbelalak: harga emas dan perak yang melesat "wow". Grafik harganya melonjak, memecahkan rekor demi rekor, seolah mengejek setiap mata uang kertas yang nilainya terus tergerus inflasi. Di tengah ketidakpastian geopolitik dan bayang-bayang resesi, logam mulia ini kembali menunjukkan taringnya sebagai safe haven—tempat berlabuh yang aman bagi mereka yang ingin selamat dari badai ekonomi di masa depan.

Melihat kilau tersebut, muncul kerinduan kolektif, terutama di kalangan masyarakat yang sadar akan sejarah moneter Islam dan dunia, untuk kembali menjadikan emas (Dinar) dan perak (Dirham) sebagai mata uang sah. Logikanya sederhana: jika uang kertas semakin tidak berharga, mengapa kita tidak kembali saja pada uang yang memiliki nilai intrinsik?

Namun, di sinilah letak paradoks besarnya. Meski emas dan perak menumpuk di brankas-brankas pribadi, mereka tidak bisa—dan tidak akan bisa—langsung masuk menjadi mata uang utama dalam sistem perekonomian kita saat ini. Ada "tembok raksasa" yang menghalanginya. Tembok itu bernama sistem ekonomi berbasiskan riba. Selama sistem keuangan global (International Monetary System) masih bernafas dengan paru-paru riba, emas dan perak hanya akan menjadi komoditas dagang, bukan alat tukar.

Dua Filosofi yang Bertabrakan

Alasan pertama dan yang paling fundamental adalah sifat dasar dari uang itu sendiri. Tuhan menciptakan emas dan perak dengan karakteristik yang sangat spesifik: jumlahnya terbatas (scarce). Keterbatasan ini bukan sebuah cacat, melainkan mekanisme alami untuk menjaga keseimbangan. Anda tidak bisa mencetak emas seenaknya.

Sebaliknya, sistem ekonomi modern yang dibangun di atas fondasi riba (bunga) membutuhkan pasokan uang yang tidak terbatas (melalui fiat money). Sistem riba hidup dari pertumbuhan utang yang eksponensial. Agar bunga bisa dibayar, uang baru harus terus diciptakan.

Di era digital ini, kegilaan riba mencapai puncaknya. Uang tidak lagi dicetak dengan tinta dan kertas, melainkan cukup diketikkan nominalnya di layar monitor bank sentral. "Uang" tercipta dari ketiadaan (creation ex nihilo) hanya dengan menekan tombol enter. Inilah yang menyuburkan fenomena pinjaman online (pinjol) yang menjamur di mana-mana. Kemudahan menciptakan uang "kredit" tanpa basis fisik membuat lintah darat digital ini leluasa menjerat leher rakyat kecil.

Jika emas dan perak dipaksakan masuk ke dalam sistem yang "haus darah" ini, sistem tersebut akan kolaps atau emas tersebut akan terhisap habis dan ditimbun. Uang kertas yang buruk akan beredar kencang, sementara emas yang berharga akan disimpan rapat-rapat.

Kudeta Terhadap Kekuasaan Tuhan dalam Mengatur Rezeki

Poin kedua menyangkut otoritas. Siapa yang sebenarnya berhak mengatur volume rezeki dan alat tukar di muka bumi? Secara teologis, Tuhanlah yang mengatur perputaran rezeki melalui ketersediaan sumber daya alam yang terukur. Emas dan perak, dengan keterbatasannya, memaksa manusia untuk hidup dalam batas-batas realitas ekonomi yang nyata.

Namun, sistem perbankan modern, khususnya Bank Sentral dan The Federal Reserve (The Fed) di Amerika Serikat, telah melakukan "kudeta" terhadap wewenang ini. Dengan kewenangan mencetak uang fiat, mereka mengambil alih peran pengatur suplai rezeki.

Ekonomi berubah menjadi sebuah "permainan" (game) yang rigit. Dan dalam setiap permainan, pemenangnya pastilah si pembuat aturan. Sejarah mencatat momen krusial pada tahun 1944 melalui perjanjian Bretton Woods, dan kemudian puncaknya pada 1971 ketika Presiden AS Richard Nixon memutuskan hubungan antara Dolar dan emas (Nixon Shock). Sejak saat itu, perdagangan internasional tidak lagi berbasis pada aset riil (emas), melainkan pada Dolar AS—secarik kertas (atau data digital) yang nilainya didukung oleh kekuatan militer dan politik, bukan nilai intrinsik.

Inilah bentuk penjajahan ekonomi modern. Negara-negara Barat, dipimpin AS, bisa "mengekspor" inflasi mereka ke negara-negara berkembang hanya dengan mencetak Dolar.

Bahaya Ekonomi Digital dan Bubble-Gelembung yang Menunggu Pecah

Ketiga, dan ini yang paling mengkhawatirkan di era kontemporer, adalah ledakan ekonomi digital, khususnya mata uang kripto (cryptocurrency). Banyak yang mengira kripto adalah solusi untuk melawan sistem perbankan sentral. Namun, jika ditelisik lebih dalam, ekonomi model ini menyimpan bahaya yang bahkan lebih besar dalam konteks kestabilan moneter.

Dalam teori ekonomi, fenomena ini mempercepat apa yang disebut Economic Bubble atau gelembung ekonomi. Teori bubble (seperti yang dijelaskan oleh ekonom Hyman Minsky tentang ketidakstabilan finansial) terjadi ketika harga aset melambung jauh melebihi nilai intrinsiknya, didorong oleh spekulasi dan perilaku pasar yang tidak rasional.

Lihatlah apa yang terjadi sekarang. Pencipta uang bukan lagi hanya negara (yang setidaknya masih punya batas yurisdiksi), tetapi siapa saja bisa membuat "uang". Muncul Bitcoin, Ethereum, Litecoin, Ripple, Stellar, Dogecoin, Cardano, Tether, Monero, Tron, dan ribuan koin lainnya.

Ini menciptakan ilusi kekayaan yang luar biasa. Jumlah "uang" atau aset yang dianggap uang beredar dalam jumlah dan jenis yang semakin tidak terkendali. Ini melanggar prinsip dasar ekonomi tentang kelangkaan dan nilai. Ketika jenis uang menjadi tidak terbatas, ketidakstabilan adalah keniscayaan.

Inflasi aset terjadi gila-gilaan. Volatilitas pasar kripto yang bisa naik-turun puluhan persen dalam sehari adalah bukti bahwa ini bukanlah mata uang yang stabil untuk menakar nilai keringat buruh atau harga beras. Ini adalah kasino global. Jika emas menawarkan kestabilan karena keterbatasannya, ekonomi digital tipe ini menawarkan kekacauan karena ketanpa-batasannya dalam varian penciptaan.

Sistem ekonomi digital ini, yang seringkali berjalan beriringan dengan spekulasi (maysir), semakin menjauhkan manusia dari sektor riil. Orang lebih tergiur menambang koin digital daripada menanam padi atau memproduksi barang. Ini adalah resep menuju kehancuran ekonomi yang nyata.

Detox Ekonomi: Bersihkan Sistem Sebelum Kembalikan Emas & Perak

Kembali ke premis awal: kenaikan harga emas dan perak adalah sinyal alam bahwa sistem kita sedang sakit parah. Namun, mengobati penyakit ini tidak cukup hanya dengan memasukkan kembali emas dan perak ke sistem perekonomian.

Sistem ekonomi harus "dibersihkan" terlebih dahulu. Emas dan perak tidak akan bisa masuk ke dalam aliran darah ekonomi jika racun riba belum didetoksifikasi dan dibuang jauh-jauh. Kita tidak bisa mencampur air dan minyak. Kita tidak bisa mencampur uang yang didesain Tuhan (emas/perak) dengan uang yang didesain untuk memfasilitasi riba (fiat/digital spekulatif).

Bagi mereka yang mengerti, pergeseran ke uang kertas dan kini uang digital bukanlah sebuah evolusi kemajuan, melainkan sebuah strategi untuk melanggengkan praktik riba yang tidak mungkin dilakukan secara masif jika menggunakan emas dan perak. Mereka tahu betul, emas dan perak membatasi keserakahan, sementara uang kertas dan digital memfasilitasi ketamakan tanpa batas.

Maka, perjuangan mengembalikan dinar dan dirham adalah perjuangan ideologis melawan sistem riba. Sebelum sistem ini runtuh atau diperbaiki, emas dan perak akan tetap menjadi "harta karun" yang nilainya terus melambung, menertawakan kebodohan manusia yang lebih memilih kertas dan angka digital daripada apa yang dipilihkan Tuhan kepada mereka.

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default