Manusia, Makhluk Tercepat di Alam Semesta

Erfapulsa
By -
0


Di pagi yang biasa, ketika matahari mulai naik dan burung-burung sibuk mencari makan, sekelompok manusia di sebuah perumahan subsidi memulai hari dengan kegiatan tergesa-gesa. Alarm berbunyi keras, membangunkan tubuh yang masih ingin tidur. Tanpa banyak pilihan, tubuh-tubuh lemah itu diseret keluar dari kenyamanan tempat tidur menuju rutinitas harian.

Sementara itu, di luar jendela, seekor kucing komplek masih santai menggeliat dan menguap panjang. Burung gereja kecil hinggap di pagar taman, tanpa rencana apa pun untuk hari ini. Bahkan semut, makhluk kecil yang dikenal rajin, bekerja dalam ritme yang tenang dan tidak pernah terburu-buru.

Pagi itu, semua makhluk hidup tampak tenang dan menjalani kehidupan sesuai nalurinya. Hanya manusia yang merasa harus selalu mempercepat segalanya, seolah hidup adalah perlombaan dengan wasit tak kasat mata yang mengawasi setiap langkah.

Kebiasaan terburu-buru ini bukanlah bagian dari tindakan biologis manusia, melainkan warisan budaya yang dibangun secara bertahap sejak dahulu. Kita dibesarkan dalam lingkungan yang selalu menyampaikan pesan bahwa siapa yang cepat akan menang, sedangkan yang lambat akan tertinggal. Warisan ini merasuk ke dalam setiap aspek kehidupan: sekolah, pekerjaan, hubungan, bahkan cara kita memandang diri sendiri.

Akhirnya, budaya terburu-buru berubah dari kebiasaan menjadi identitas yang melekat. Kita menjalaninya begitu lama sampai-sampai lupa kapan terakhir kali hidup bisa berjalan pelan. Pada titik ini, lahir paradoks besar dalam kehidupan manusia: kita ingin hidup lebih panjang, tapi menjalani segalanya dengan cara yang memperpendek hidup.

Bernafas cepat, makan cepat, berjalan cepat, bahkan merasakan pun harus dilakukan dengan cepat. Seolah sedih, marah, atau kecewa harus segera dibereskan agar tidak mengganggu produktivitas di masa depan. Padahal, hakikat kehidupan tidak pernah menuntut kecepatan. Alam tidak pernah mengenal istilah “deadline”. Ia justru bergerak dengan ritme yang mapan, sejak sebelum manusia pertama lahir.

Kesibukan yang Memperpendek Diri

Beberapa orang merasa bangga ketika mengatakan, “Aku sibuk sekali akhir-akhir ini.” Mereka menyebutnya sebagai pencapaian, seakan kesibukan adalah medali yang membuktikan bahwa hidup mereka berjalan ke arah benar. Namun, jika diamati lebih dekat, kesibukan sering kali hanya bentuk lain dari kehilangan kendali atas kehidupan. Orang yang terlalu sibuk kadang tidak tahu apa yang sedang mereka kejar, mereka hanya takut berhenti karena khawatir akan menemukan kekosongan dalam jeda itu.

Berbeda dengan pepohonan yang tumbuh mengikuti musim, manusia harus membangun tujuan yang terus diperbarui. Seringkali kita menyebutnya dengan kata “resolusi” atau “target hidup”. Ketika satu target tercapai, target baru muncul dengan cepat. Kita mendapat kenaikan jabatan? Baik, lalu apa lagi? Finansial stabil? Oke, lalu mau beli apa lagi? Masalah selesai? Bagus, sekarang cari masalah baru agar hidup terasa penuh tantangan. Manusia dengan senang hati melompat dari satu kecemasan ke kecemasan lainnya, seolah ketenangan adalah barang yang terlalu murah.

Waktu yang Terasa Selalu Mengejar Kita

Konsep waktu dalam hidup manusia (terutama manusia jaman sekarang), lebih mirip sistem ekonomi ketimbang alam. Kita membagi, menukarkan, memaksimalkan, menghitung investasinya, dan khawatir bila waktu terbuang secara “tidak produktif”. Akibatnya, waktu berubah menjadi sesuatu yang menakutkan, ia seperti musuh yang selalu selangkah di depan kita.

Namun, jika kita melihat kehidupan makhluk lain, rasanya waktu bukan ancaman bagi mereka. Seekor kura-kura tidak pernah merasa terlambat meski jalannya pelan. Seekor ikan tidak pernah panik ketika arus berubah, ia hanya mengikuti arah baru. Tidak ada satupun makhluk di hutan yang mengeluh tentang quarter life crisis.

Manusia saja yang merasa hidupnya punya tenggat. Menikah harus di usia tertentu, sukses harus sebelum kepala tiga, memiliki rumah harus sebelum berkeluarga, memiliki keluarga harus sebelum dianggap gagal secara sosial. Semuanya dibuat dan diburui dengan standar kalender yang entah siapa yang pertama kali menetapkannya.

Sosial Media dan Ilusi Kecepatan

Dulu manusia terburu-buru karena takut serangan hewan buas. Tapi sekarang, manusia terburu-buru karena takut tidak terlihat. Sosial media mengubah cara manusia memaknai waktu. Batas antar-momen semakin tipis, semuanya instan. Kita melihat kehidupan orang lain bergulir cepat, dan kita merasa harus ikut. Ada ketakutan saat melihat teman-teman bergerak maju: yang satu menikah, yang lain punya pekerjaan baru, yang lain lagi punya pencapaian. Padahal kita tidak pernah benar-benar tahu apakah pencapaian itu benar atau hanya kemasan.

Dunia maya seolah mempercepat segalanya, termasuk perasaan iri, cemas, dan tekanan sosial. Kita menelan semuanya begitu cepat sampai lupa bertanya: apakah ini benar-benar penting?

Kompetisi Tanpa Pemenang

Salah satu alasan manusia selalu buru-buru adalah karena hidup diperlakukan seperti kompetisi besar. Jarang manusia bergerak karena keinginan pribadi; lebih sering karena ingin membuktikan sesuatu kepada ‘penonton’ yang mungkin tidak peduli juga.

Perlombaan hidup ini tidak jelas mulai dari mana, dan lebih tidak jelas lagi kapan harus berhenti. Ada yang dapat pekerjaan bagus, tapi ingin jabatan lebih tinggi. Yang memiliki penghasilan stabil, ingin penghasilan pasif. Yang hidup tenang, ingin terlihat hebat. Yang hidup sulit, ingin terlihat kuat. Tidak ada yang ingin dianggap lambat, meski langkah pelan sering kali lebih selaras dengan kebutuhan.

Saat Alam Mengingatkan Kita Cara Hidup yang Benar

Di tengah semua percepatan, alam tetap menjadi guru yang sabar. Setiap musim, setiap perubahan cuaca, setiap pergantian hari, memberi pesan sama: hidup tidak perlu terburu-buru.

Ketika hujan turun, itu cara alam menyuruh semua yang hidup untuk memperlambat gerak. Ketika malam tiba, itu cara alam mematikan sejenak rutinitas kehidupan, agar semua bisa pulih. Bahkan badai pun punya ritmenya sendiri: datang, meluapkan energi, lalu menghilang.

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang menolak jeda ini. Kita tetap memaksakan bekerja padahal tubuh meminta istirahat. Kita tetap online padahal pikiran meminta tenang. Jeda dianggap kemewahan, padahal seharusnya kebutuhan dasar.

Seni Melambat

Di titik ini, kita harus sadar bahwa yang kita butuhkan bukan penambahan kecepatan, melainkan tambahan keheningan. Bukan menambah target, melainkan mengurangi kecemasan. Bukan mempercepat langkah, melainkan memperdalam rasa hadir.

Seni melambat bukan ajakan untuk malas-malasan. Bukan alasan untuk berhenti mengejar mimpi. Seni melambat adalah keberanian memilih ritme yang tidak memaksa kita kehilangan diri sendiri.

Penutup

Pada akhirnya, kita harus mengakui bahwa manusia memang makhluk paling tergesa-gesa di alam semesta. Tapi manusia juga makhluk paling adaptif. Ketergesaan bukan takdir, hanya kebiasaan yang bisa diubah bila manusia mau berhenti sejenak dan melihat ke dalam diri sendiri.

Dan mungkin, di antara detik yang terus berlari, manusia perlu mengingat satu hal sederhana: hidup bukan tentang seberapa cepat kita menggapai sesuatu, tapi seberapa ‘hadir’ kita dalam perjalanan menuju ke sana. Karena pada akhirnya, tidak ada gunanya jadi yang tiba paling cepat, jika sepanjang jalan kita tidak sempat melihat apa-apa.

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
3/related/default