
Perubahan Mendasar dalam Dinamika Geoekonomi Asia Timur
Asia Timur kini berada di fase baru yang ditandai oleh pergeseran signifikan dalam hubungan antara negara-negara besar. Setiap pernyataan politik kini langsung terbaca oleh pasar sebagai risiko ekonomi. Eskalasi hubungan Sino-Jepang yang muncul pekan ini menunjukkan betapa cepatnya pasar dan pelaku industri merespons sinyal dari Beijing maupun Tokyo.
Ketika Tiongkok melarang impor produk perikanan Jepang, meskipun pembatasan itu baru saja dilonggarkan pada awal 2025, pasar segera membaca langkah tersebut sebagai tanda bahwa Beijing siap menggunakan instrumen ekonomi secara terbuka. Dampaknya langsung terasa: saham perusahaan Jepang melemah, biaya logistik naik, dan sentimen industri mengalami penurunan hanya dalam hitungan jam.
Langkah Tiongkok tidak berdiri sendiri. Pembatalan pertunjukan budaya Jepang, penundaan peluncuran film, hingga imbauan agar warga Tiongkok berhati-hati bila bepergian ke Jepang memperkuat pola tekanan yang lebih luas. Meski langkah-langkah ini terlihat kecil jika dilihat satu per satu, dalam konteks geoekonomi Asia Timur, mereka menandai mekanisme tekanan yang sangat jelas.
Sinyal ini mengingatkan pada 2012 ketika boikot konsumen di Tiongkok menghancurkan penjualan mobil Jepang dan memaksa perusahaan-perusahaan besar melakukan penyesuaian produksi. Polanya konsisten: sentimen publik bergerak lebih cepat daripada lembaga formal, pasar merespons lebih cepat daripada pemerintah, dan tekanan ekonomi bekerja sebelum diplomasi sempat bereaksi.
Fenomena ini membuat tesis Edward Luttwak dalam esai From Geopolitics to Geo-Economics (1990) semakin relevan. Luttwak berargumen bahwa ketika konflik militer menjadi terlalu mahal dan rumit, negara akan memindahkan kompetisinya ke ranah ekonomi.
Pergeseran Kekuatan di Asia Timur
Asia Timur adalah contoh paling nyata dari pergeseran ini. Negara-negara besar di kawasan tidak lagi sekadar mengukur kekuatan melalui jumlah kapal perang atau rudal, tetapi melalui kemampuan mengakses pasar, mengendalikan rantai pasok, dan memengaruhi opini publik domestik negara rival.
Pergeseran ini juga sejalan dengan analisis Robert D. Blackwill dan Jennifer Harris dalam buku War by Other Means (2016). Keduanya menekankan bahwa kekuatan negara modern tidak hanya ditentukan oleh kemampuan militer, tetapi oleh kapasitas mengatur investasi, teknologi, standar industri, hingga kontrol ekspor.
Ketika Tiongkok menghentikan impor produk perikanan Jepang atau menunda kegiatan budaya, langkah itu tidak bisa dibaca sebagai respons emosional. Ia adalah bagian dari strategi tekanan ekonomi yang memiliki dampak sistemik pada industri regional.
Struktur Ekonomi Asia Timur dan Dampaknya pada Indonesia
Struktur ekonomi Asia Timur memperkuat daya hancur tekanan tersebut. Tiongkok menguasai sekitar 60% produksi rare earth global yang menjadi bahan baku utama kendaraan listrik, ponsel pintar, laser industri, dan sistem pertahanan. Jepang menguasai teknologi mesin presisi dan komponen chip yang digunakan produsen di seluruh dunia. Korea Selatan dan Taiwan menjadi inti produksi semikonduktor global.
Ketika hubungan dua aktor terbesar di kawasan ini memanas, seluruh arsitektur industri Asia ikut bergetar. Gangguan kecil berubah menjadi risiko besar karena rantai pasok terhubung sangat erat.
Guncangan regional menyebar melalui tiga jalur utama yang seluruhnya berpengaruh langsung pada Indonesia. Jalur pertama adalah kenaikan harga input industri. Jika Tiongkok memperketat pasokan rare earth atau Jepang membatasi ekspor mesin industri, biaya produksi akan meningkat dengan cepat. Jalur kedua adalah ketidakpastian suplai. Pabrik-pabrik di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sangat bergantung pada komponen dari Tiongkok dan Jepang. Jalur ketiga adalah kenaikan biaya logistik. Premi risiko maritim dapat meningkat ketika ketegangan terjadi di sekitar Taiwan atau Laut Tiongkok Timur dan jalur pelayaran Indonesia berada dekat wilayah-wilayah itu.
Indonesia berada dalam salah satu posisi paling sensitif dalam jaringan tersebut. Lebih dari separuh impor komponen elektronik Indonesia berasal dari perusahaan yang beroperasi di Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Industri otomotif Indonesia mengandalkan suplai Jepang mulai dari mesin hingga komponen presisi. Sektor energi dan telekomunikasi bergantung pada input teknologi dari Tiongkok. Bahkan proses logistik Indonesia menuju pasar global harus melalui jalur yang rentan terhadap perubahan situasi Sino-Jepang. Artinya, ketegangan politik yang terjadi ratusan kilometer dari Indonesia dapat bekerja sebagai inflasi biaya produksi di dalam negeri.
Peluang bagi Indonesia dalam Dinamika Geoekonomi
Namun, kondisi ini tidak harus membuat Indonesia mengambil posisi pasif. Justru dalam lanskap geoekonomi yang penuh ketidakpastian, kerentanan dapat menjadi sumber daya. Perusahaan Jepang sedang mempercepat diversifikasi dari Tiongkok akibat risiko politik yang meningkat. Perusahaan Tiongkok sedang mencari lokasi produksi yang lebih aman dari sentimen publik Jepang. Negara yang mampu menawarkan stabilitas, ukuran pasar besar, dan rantai pasok yang lebih dapat diandalkan akan menjadi magnet investasi. Indonesia sebenarnya memiliki semua faktor itu. Tantangannya adalah bagaimana memanfaatkannya.
Oleh karena itu, Indonesia memerlukan strategi geoekonomi yang ofensif dan terukur. Diversifikasi pasokan harus menjadi kebijakan industri nasional, bukan hanya opsi teknis. Ketergantungan pada dua atau tiga negara Asia Timur membuat struktur industri Indonesia rentan terhadap guncangan eksternal. Indonesia perlu membuka jalur alternatif dari India, Turki, Vietnam, hingga Meksiko untuk sektor elektronik, otomotif, dan energi. Diversifikasi tidak hanya melindungi industri dari risiko, tetapi juga meningkatkan daya tawar Indonesia dalam negosiasi internasional.
Langkah berikutnya adalah membangun stock buffer untuk komponen industri yang paling kritis. Pandemi 2020 mengajarkan bahwa rantai pasok global tidak lagi dapat mengandalkan model just-in-time. Ketika chip menghilang dari pasar, harga mobil naik dan produksi tersendat. Indonesia perlu memiliki cadangan komponen penting untuk industri yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Hal ini terutama penting untuk baterai kendaraan listrik, komponen elektronik presisi, dan peralatan telekomunikasi.
Indonesia juga perlu membangun Radar Geoekonomi Asia Timur. Radar ini adalah sistem peringatan dini yang memonitor perubahan kebijakan, hambatan ekspor, dinamika rare earth, gangguan logistik, sampai gejolak pasar secara real-time. Radar seperti ini dapat memberi sinyal kepada industri sebelum guncangan terjadi sehingga perusahaan dapat menyesuaikan suplai, strategi produksi, dan jadwal logistik lebih awal. Tanpa radar semacam ini, industri selalu berjalan dalam kegelapan dan baru merespons ketika kerusakan sudah terjadi.
Indonesia juga harus menjadikan ketegangan Sino-Jepang sebagai momentum reposisi ekonomi di Indo-Pasifik. Ketika perusahaan Jepang memindahkan sebagian fasilitas produksinya keluar dari Tiongkok, Indonesia dapat menjadi kandidat utama. Hal serupa berlaku untuk perusahaan Tiongkok yang ingin mengamankan rantai pasoknya dari volatilitas politik Jepang. Untuk menarik arus ini, Indonesia harus memberikan kepastian regulasi, mempercepat perizinan, dan mengembangkan kawasan industri berorientasi ekspor yang mampu menerima teknologi menengah hingga tinggi.
Di sisi logistik, Indonesia memiliki ruang besar untuk memperkuat posisinya. Jika ketegangan kawasan membuat biaya logistik global meningkat, Indonesia dapat memperkecil dampaknya melalui reformasi pelabuhan dan digitalisasi logistik domestik. Semakin efisien distribusi nasional, semakin kuat ketahanan ekonomi Indonesia terhadap tekanan harga dari luar negeri.
Ketegangan Sino-Jepang hari ini memberikan pelajaran penting bagi Indonesia. Asia Timur telah berubah menjadi arena geoekonomi di mana ekonomi tidak lagi independen dari politik. Dalam rezim seperti ini, negara yang menang bukan negara yang paling keras berbicara, tetapi negara yang paling cepat membaca risiko, paling berani memanfaatkan peluang, dan paling tepat menjaga kepentingan ekonominya.
Jika Indonesia ingin berada di barisan depan ekonomi Asia, Indonesia tidak boleh puas menjadi rule taker. Dalam fase geoekonomi saat ini, Indonesia memiliki ruang untuk tampil sebagai rule maker yang ikut menentukan arah perubahan, bukan hanya menyesuaikan diri terhadap perubahan itu.
